Syahdan, belakangan baru saja digelar sebuah hajatan akbar di kampus yang ada di Ukraina. Pekik “Hidup Mahasiswa!” diteriakkan sampai urat leher nyaris putus. Katanya, ini pesta demokrasi. Katanya, hari penentuan nasib rakyat Kampus Putih Ukraina.
Tapi, Tuan-tuan, ada yang ganjil dari pesta ini. Rasanya seperti ada sebuah resepsi nikah yang megah di gedung mewah, JJ dangdutnya kencang, walau cuma di salon HP, kateringnya melimpah ruah, tapi kosong tamu undangan. Yang berjoget di panggung cuma panitia, pengantin, dan kerabat dekatnya saja. Tidak ada tetangga atau tokoh masyarakat.
Sepi. Senyap. Hambar. Dan ketika angka-angka mulai keluar dari kotak suara, barulah kita sadar, ini bukan pesta rakyat.
Matematika Komedi
Mari kita buka kalkulator, sebab matematika, sepahit apapun, tidak pernah diajarkan untuk berbohong, tidak seperti janji kampanye para politisi, kampus.
Pasangan Ketua dan Wakil Ketua DEMA terpilih dengan bangga. Perolehan suara mereka: 6.561 suara, itupun kalau tidak disulap Komisi Pesulap Umum (KPU). Sebuah angka yang terdengar lumayan gagah jika itu jumlah paket sembako yang dibagikan. Tapi tunggu dulu, mari kita sandingkan dengan total mahasiswa kampus putih tersebut yang hari ini hampir menyentuh angka 32.000 jiwa.
Ambil napas panjang. Hitunglah. Itu hanya sekitar 20,5 persen. Dalam standar akademik kampus manapun, di Ukraina maupun di luar Ukraina, seperti UIN SUKA di Indonesia, angka 20 dari 100 nilainya bukan C, bukan D, melainkan E. Gagal total.
Bayangkan betapa absurdnya logika ini. Jika Anda seorang mahasiswa, lalu Anda mengerjakan skripsi dan mendapat nilai E, dosen Anda pasti akan melempar draft itu ke tong sampah. Alih-alih Cumlaude, Anda tidak akan diluluskan, justru skripsi tuan harus dirombak bahkan sampai judulnya.
Tapi, politik kampus putih Ukraina memang punya keajaiban logikanya sendiri. Di sini, nilai E itu justru dirayakan. Mahasiswa dengan IPK “E” itu justru wisuda, dilantik, disumpah, dan diberi palu untuk memimpin seluruh mahasiswa bahkan yang tak mencoblosnya walaupun mereka mayoritas banget.
Juara Satu dari Belakang, Bukan, Tapi Juara Satu dari Satu Murid
Dan inilah puncak komedinya. Sang pemenang ini meraih tahta secara Aklamasi. Calon Tunggal.
Kemenangan aklamasi dengan suara minim adalah sebuah paradoks. Bayangkan Anda satu-satunya murid di kelas, berapapun perolehan nilai akan membuatnya juara 1 di kelas. Konyol jika bapaknya merayakan prestasi itu. tapi jangan kaget, begitulah budaya Ukraina.
KPU dan SEMA: Wasit atau Kiper?
Tentu saja, tragedi komedi ini tidak terjadi begitu saja. Ada sutradara di balik layar. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah kepada KPU Mahasiswa (KPU-M) dan Senat Mahasiswa (SEMA) atas suksesnya pesta itu.
Merekalah “Event Organizer” (EO) dari pesta sepi ini. Merekalah yang merancang aturan main dan menyusun undang-undang tebal itu. Tapi alih-alih menjadi wasit, terlihat lebih mirip disebut penjaga gawang bagi kepentingan elit. Jika mereka benar-benar ingin bersatu membangun demokrasi, seharusnya mereka berani menawarkan dua menu enak lainnya:
Pertama, mengapa takut pada “Kotak Kosong”? Jika memang kaderisasi macet dan hanya ada satu paslon (Calon Tunggal), jangan paksa rakyat memilih secara aklamasi yang konyol. Tidak semuanya makan udang tuan, Banyak yang alergi, apakah harus makan juga?
Biarkan sang Calon Tunggal bertarung melawan Kotak Kosong. Ulangi pemilihan dengan mencari paslon lain sampai suara paslon lebih banyak dari kotak kosong. Kotak Kosong itu jujur. Dia tidak banyak janji, dia tidak korupsi, dan yang pasti, dia tidak punya kepentingan golongan di belakangnya. Saya curiga, Tuan-tuan, golput merupakan opsi kotak kosong secara informal karena tidak dilegalkan.
Kedua, mengapa mengharamkan “Jalur Independen”? Sistem yang dibuat KPU dan SEMA hari ini menutup pintu rapat-rapat bagi “Mahasiswa Putih” seperti kami. Partai A adalah baju ganti Ormek ini, Partai B adalah topeng Ormek itu. Mahasiswa jenius dari Fakultas Kenukliran dan Konveksi Celana Pendek (FKKCP) yang tak punya partai dilarang masuk gelanggang.
Jika KPU dan SEMA bukan penjaga gawang, seharusnya mereka membuka Jalur Independen. Biarkan mahasiswa maju dengan modal KTM dan dukungan riil keluarga besar FKKCP, atau sowan ke kyai-kyai UKM. Tapi, ah, kenapa? Membiarkan mahasiswa independen maju apakah seperti membiarkan “orang asing” masuk ke ruang makan keluarga. Takut jatah udang goreng berkurang, kah? atau jangan-jangan mereka alergi udang goreng juga?
Dengan tidak adanya dua opsi ini, KPU dan SEMA perlu dipertanyakan. wasit atau keeper status quo?
Demokrasi dan Pendidikan Politik Mati, Siapa Paling Berdosa?
Inilah perkara yang paling menggelitik. Bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal lain. Kita harus sadar, kampus adalah satu-satunya ruang bagi seorang anak muda untuk belajar politik secara jujur.
Sebelum masuk kuliah, di bangku sekolah, kita diajarkan secara normatif. Guru selalu benar, murid harus dengar. Nanti, setelah lulus kuliah, kita akan dilempar ke dunia kapitalis yang kejam, di mana politik hanyalah soal sikut-sikutan demi gaji dan jabatan. Tidak ada lagi ruang untuk demokrasi idealis.
Maka, kampus adalah jeda emas. Kampus adalah laboratorium terakhir. Di sinilah seharusnya tempat semua belajar bahwa berbeda pendapat itu halal. Bahwa berdebat soal audit anggaran itu ibadah intelektual. Bahwa menjadi pemimpin itu soal gagasan dan dukungan mayoritas, bukan soal warisan jabatan. Tapi apa lacur? Laboratorium itu sudah diblokir oleh segelintir elite mahasiswanya sendiri.
Alih-alih bersatu membangun demokrasi, sistem aklamasi dan kartel partai ini justru mengajarkan feodalisme gaya baru. Mahasiswa baru melihat bahwa untuk jadi pemimpin, tak perlu susah berkampanye, cerdas atau punya visi, cukup join partai dan matikan kompetisi. Lucu sekali.
Sebuah Nisan
Jadi, Tuan-tuan pemenang Aklamasi, silakan berpesta. Silakan berpelukan.
Tapi sadarilah, kemenangan 6.561 suara dari 32.000 rakyat Ukraina, yang diraih tanpa lawan tanding dan difasilitasi oleh aturan main yang jenaka logika, bukanlah trofi. Itu adalah nisan. Nisan yang menandakan bahwa pendidikan politik di kampus putih ini telah mati dan terus dikubur.
Selamat bertugas, Tuan Presiden. Kami, rakyat jelata kampus, akan kembali bekerja demi bayar UKT mahal kami, sebab kami tahu, berharap pada kalian sama sia-sianya dengan mengharap belas kasih ibuk kos kami di awal bulan.
Mamoru Kawa. Seorang mahasiswa yang juga bekerja sebagai kuli ramen.









