Home / Esai / Opini / Polemik Pembangunan Gereja Yasmin yang Tak Pernah Usai

Polemik Pembangunan Gereja Yasmin yang Tak Pernah Usai

Berbicara konflik adalah kebiasaan yang terus menuai persoalan dalam eksistensinya.

Hal ini menjadi pasti adanya dan wajar, justru akan terasa asing jika tidak menemukan konflik dalam hal tertentu. Keberadaan konflik bisa muncul dengan beragam macamnya.

Seperti saja konflik agama yang terjadi pada gereja yasmin. Tak asing untuk di dengar, memang dari tahun ke tahun terus menuai kontroversi dari berbagai sudut pandang perspektifk Kaum agama lainnya.

Kronologi awal yang terjadi dalam konflik gereja yasmin ini terkait pembangunannya sejak Juli 2006 ketika Pemerintahan kota Bogor menerbitkan izin mendirikan bangunan Nomor: 645.8-372/2006 tanggal 19 Juli 2006.

Dengan berawal izin tersebut maka dibangunlah rumah ibadah atas nama Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang terletak di Jalan KH. Abdullah Bin Nuh Nomor 31, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor barat, Kota Bogor.

Setelah mendapat izin, pihak gereja memulai pembangunan pada januari 2007 (www.idntimes.com) dengan dihadiri Diani Budiarto selaku walikota Bogor kala itu.

Tidak sesuai ekspetasi, ternyata pembangunan tersebut terdapat penolakan dari masyarakat sekitar sehingga menimbulkan demo atas ormas islam untuk menyalurkan aspirasinya pada Desember 2007.

Kemudian, dengan adanya konflik antara masyarakat sekitar dengan pihak pendirian gereja.

Maka, DPRD kota Bogor berdiskusi dengan pihak gereja serta RT sebagai perwakilan masyarakat setempat. Alhasil, pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) dihentikan dan dinyatakan status quo. 

Tidak hanya berhenti disitu, pada tahun 2009 pembangunan ini terus menuai konflik dan kontroversi. Pasalnya, pembangunan gereja tetap teguh dilanjutkan. Namun, tetap saja,
masih mendapat penolakan masyarakat muslim setempat sampai-sampai akses menuju ke area gereja pembangunan di tutup rapat.

Dari tahun 2007, 2009 berlalu, ternyata konflik ini terus berlanjut di tahun 2010. Ternyata, ada indikasi pemalsuan tanda tangan masyarakat setempat
atas pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Dengan demikian, akibat pemalsuan tersebut, pemerintah kota Bogor membekukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja yasmin serta menyegel area pembangunan gereja tentunya.

Konflik agama ini terus mengalami perpanjangan konflik. Hal ini disebabkan bahwa sesuatu yang berkaitan dengan agama begitu sangat privat dan sensitif. Banyak cara dan solusi yang telah dilakukan untuk mencoba mencari jalan terangnya. Misalnya, melalui jalur hukum, antikekerasan dan dialog
dengan masyarakat setempat untuk berpendapat. Pihak gereja dan jemaat pun sama-sama mempertahankan hak yang dimiliki.

Dengan demikian, konflik gereja yasmin yang terus berkelanjutan ini menggambarkan bahwa pemerintah setempat masih kurang teliti, lalai dalam
mendidik dan menjaga masyarakatnya.

Konflik ini tentu membutuhkan kepedulian dari beberapa pihak karena setiap pihak memiliki peran dalam membantu mencarikan solusi.
Dibutuhkan empati untuk memahami konflik ini, karena setiap warga indonesia mempunyai hak yang sama dalam memeluk agama yang diyakininya.

Hal sebenarnya sudah termaktub pada
Ketentuan dalam pasal 29 UUD 1945 sangat penting artinya bagi agama-agama dan para pemeluknya karena telah memberi jaminan dan sarana keterlibatan umat di dalam mengisi dan memperkaya kehidupan berbangsa.

Tiap pemeluk agama mendapatkan kesempatan untuk menjalankan agama dan menciptakan kehidupan beragama sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Pengembangan agama dan kehidupan beragama tidak boleh menjurus ke arah tumbuhnya pemikiran dan pemahaman agama yang sempit karena hal ini akan menimbulkan konflik antaragama (Nisvilyah, 2013: 382).

Setidaknya, kita dapat mengkaji konflik ini dari konsep “etnosentrime” sebab menurut Gumplowichz (dalam Liliweri, 2018: 34) sependapat bahwa etnosentrisme ialah sikap yakin oleh individu bahwa ia selalu unggul diantara yang lainnya.

Konflik seperti ini juga terjadi di Indonesia. Sikap merasa apabila keyakinannya adalah hal yang benar kemudian yang lainnya salah tersebut tidak bermasalah jika berhenti pada diri sendiri tanpa aksi (Iman).

Justru hal tersebut akan salah apabila di aktualisasikan dalam bentuk praksis yang menimbulkan konflik sentimen agama lainnya. Karl Marx berpendapat bahwa Konflik kerap muncul diambil sebagai titik sentral dari masyarakat.

Dalam teori karl marx tentang teori konflik terdapat dua istilah yakni borjuis dan proletar. Apabila dikontekskan dengan polemik gereja yasmin maka masyarakat setempat berlaku sebagai borjuis karena mereka teguh mempertahankan statuq quo dan kesuperioran.

Terdapat indikasi bahwasanya penolakan sebab didirikan dijalan yang memiliki nama basis keislaman. Layaknya yang sudah dijelaskan di atas tadi, yakni jalan KH Abdullah Bin Nuh Nomor 31. Sehingga masyarakat menganggap bahwa hal demikian tidak pantas jadi diperlukan unsur pertahanan untuk kemajuan dalam meningkatkan potensial secara revolusioner dalam beragama.

Pada akhirnya, teori interaksionisme-simbolik yang digagas oleh George Herbert Mead (1932) dan kemudian dilengkapi oleh Herbert Blumer (1969) sangat cocok jika dikaitkan dengan konflik pembangunan gereja yasmin ini.

Teori interaksionisme Simbolik mengajarkan pentingnya memahami pemaknaan lain selain dari yang kita maknai secara pribadi, sehingga dapat terjalin komunikasi yang efisien dan harmonis.

Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusia dan lingkungannya. (Athiyatul Mughni) 

-Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *