“Jika pertarungan dalam arena ilmiah, filsafat, dan sastra saja seringkali barbar, rasanya sulit untuk mencari alasan mengapa politik harus dilakukan dengan cara elegan.”
Bagi sebagian orang, pertarungan politik harus dilakukan dengan cara-cara elegan. Analogi yang diberikan oleh seorang teman kepada saya dengan sedikit menyindir, kurang lebih seperti ini: jangan menikmati musik, selayaknya mendengarkan musik punk di pertunjukan musik jazz. Dua jempol untuk teman saya dan perkataannya, sebelum saya berpikir ulang sebanyak dua kali juga untuk perkataan itu.
Saya jadi teringat tingkah biangnya musik punk, Iggy Pop, di Festival Jazz Montreux (2023). Saat manggung, pria itu hampir selalu telanjang, mengacungkan jari tengah ke semua penonton sambil berteriak, “Fuck, fuck, fuck!” Jika masih muda, ia tak akan segan melumuri tubuh telanjangnya dengan selai kacang, kemudian melemparnya dan melompat tepat ke wajah penonton. Salah satu grup musik yang saya suka, The Who, membuat sebuah insiden saat tampil di Smothers Brothers (1967), salah satu acara TV keluarga yang penuh dengan sopan santun. Mereka mengisi drum dengan peledak, dan saat lagu terakhir “My Generation” selesai, drum diledakan. Ledakannya membuat tamu di belakang panggung pingsan, dan rambut gitaris Pete Townshend terbakar.
Dua pertunjukan di atas adalah contoh yang menarik. Karena semua pertunjukan elegan yang diselipkan gaya urakan, atau berakhir dengan insiden selayaknya semangat punk tersebut, justru ditutup oleh rasa puas lewat tepuk tangan penonton. Meski Iggy Pop harus menahan tubuh tuanya yang ringkih agar tak masuk angin, dan Townshend meratapi rambutnya yang gosong seperti di kartun-kartun.
Bukan bermaksud ingin mempromosikan tingkah begajulan, karena bisa memberikan kita tepuk tangan. Saya hanya ingin bilang bahwa pertarungan dalam arena politik, bukan yang segala sesuatunya harus dilakukan dengan cara elegan, dengan menyajikan contoh langsung berdasarkan analogi yang diajukan. Bahkan banyak arena lain yang jika dilihat dari kacamata awam—dibandingkan dengan politik praktis—pertarungan-pertarungan yang terjadi seharusnya bersifat elegan, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Dalam arena ilmiah dan filsafat, pertarungan besar seolah selalu dipenuhi oleh tumpukan paper. Namun, David Edmonds dan John Eidinow dalam Wittgenstein’s Poker (2002), membahas kisah Ludwig Wittgenstein yang bertarung melawan Karl Popper dengan menggunakan sebuah tongkat poker—besi panjang untuk perapian. Pertarungan ini terjadi di Cambridge, saat debat panas dengan Popper, Wittgenstein mengambil besi panas dari perapian, menggunakannya untuk mengancam. Bertrand Russell sebagai wasit melerai, Wittgenstein akhirnya melempar tongkat itu dan pergi dari ruangan. Arthur Schopenhauer, selain sering memaki Hegel dan menyebutnya “penipu berkepala datar,” dan “menjijikan,” pernah menyerang seorang penjahit, Caroline Marquet, sampai lumpuh hanya karena perempuan itu berisik. Ketika Marquet meninggal setelah 20 tahun, Schopenhauer menulis, “Perempuan tua itu mati, beban akhirnya hilang.”
Cerita paling seru yang saya temui berasal dari seorang mahasiswa Imperial College Inggris yang bercerita di Quora, tentang sebuah pesta yang dihadiri oleh profesornya. Dia mengatakan ada dua fisikawan terkemuka yang saling mencekik leher satu sama lain, pertarungan hebat itu terjadi setelah debat panjang mereka tentang apakah alam semesta itu berdimensi lima atau enam. Semoga adegan cekik-mencekik itu berakhir dengan perolehan Nobel kategori fisika, sepaket dengan bibir monyong Donald Trump dan riwayat twitwar-nya melawan Elon Musk.
Pertarungan sengit juga terjadi dalam arena sastra. Dea Anugrah (2016) menceritakan satu babak penuh ini dalam sebuah esai. Saat sedang dalam perjalanan untuk meliput Perang Saudara Spanyol, Ernest Hemingway pernah membanting sebuah buku yang masih terbuka hingga punggung buku tersebut patah ke batang hidung Max Eastman, penulis yang membuat ulasan dan meledek karyanya. Setahun sebelumnya, saat berusia 37 tahun, Hemingway juga memukuli penyair Wallace Steven yang berusia 56 tahun karena telah meledeknya berkali-kali. Mark Twain meledek ingin menggali kuburan Jane Austen, memukul tengkorak dengan tulang keringnya sendiri atau menimpuknya dengan batu setiap membaca Pride and Prejudice. Hingga pertemuan Pramoedya Ananta Toer dengan penulis idolanya di Balai Pustaka, Abdullah Idrus, yang justru malah menghinanya, “Pram, kamu itu bukan nulis, tapi berak!”
Apa yang dilakukan Idrus terhadap Pram bisa jadi bukan pertarungan, melainkan pembantaian sepihak. Mahbub Djunaidi juga punya tingkah serupa, dalam satu artikel di Kompas ia menyebut Totok Rahardjo berkulit hitam legam, dan mengatakan kalau badan Gus Dur itu seperti jambu kelutuk. Yang paling saya sukai, juga Dea Anugrah, dan mungkin segera menjadi makian favorit semua orang, berasal dari penulis perempuan Amy Sedaris kepada Bill Ryan. Dea Anugrah menerjemahkannya, sebagai berikut: “Bill, aku bisa saja menyebutmu memek, tapi kamu kurang hangat dan mendalam.”
“Pertarungan politik yang melulu dilakukan secara elegan, juga akan membuat otot kita mengendur.”
Kita semua biasa menyebut semua pertarungan di atas dengan sebutan barbar, istilah yang digunakan untuk semua perilaku kasar, agresif, atau kurang sopan. Kita juga bisa menemukannya dalam bentuk fisik seperti memukul batang hidung seseorang dengan buku, atau non fisik seperti menghina orang dengan menyebutnya berak. Jika pertarungan dalam arena ilmiah, filsafat, dan sastra saja seringkali barbar, rasanya sulit untuk mencari alasan mengapa politik harus dilakukan dengan cara elegan. Mengingat politik selalu didominasi oleh mahluk yang keberadaannya saja membuktikan kalau teori evolusi bisa berjalan mundur.
Richard Katz dan Peter Mair dalam “Changing Models of Party Organization and Party Democracy” (1995), menjelaskan bahwa alasan utamanya adalah untuk menghilangkan ketidakpastian. Maka pertarungan dalam arena politik harus menggunakan cara yang elegan: relasi antar aktor dalam struktur, kejelian mengambil kesempatan, negosiasi belakang layar untuk menghitung potensi kemenangan dan kerugian, atau kekalahan total bahkan hingga kemungkinannya di masa depan. Cara seperti ini membuat pertarungan lebih mudah untuk diprediksi. Jika mereka menggunakan politik barbar, kelompok lain terutama pendukung akan kehilangan rasa aman dan kepercayaan, akibatnya jarak ketidakpastian semakin melebar.
Strategi seperti ini memang sudah lumrah digunakan. Silvio Berlusconi yang kembali berkuasa di Italia pada tahun 2008, merupakan salah satu contoh yang menarik. Berlusconi mendapat kemenangan mutlak, karena berhasil mengkonsolidasi setiap aktor dalam struktur. Bernegosiasi, mengelola, kemudian menjamin setiap kepentingan terpenuhi. Melalui lottizzazione, Berlusconi berhasil memindahkan pusat pemerintahan ke ruang tamu pribadinya di Palazzo Grazioli, Roma. Namun, pada akhirnya ia jatuh karena tangan Gianfranco Fini, saudara politiknya sendiri sekaligus orang pertama yang berkhianat.
Politik elegan, walaupun lebih efisien dan terukur, justru secara struktural dapat melemahkan kelompok atau organisasi. Seperti yang dialami oleh Berlusconi, pertarungan tertutup yang dilakukan secara transaksional akan menghilangkan rasa loyalitas, dan menurunkan komitmen kolektif, sehingga kinerja organisasi juga akan menurun dan kapasitas untuk lebih adaptif juga melemah. Terlebih karena sebagian informasi bersifat asimetris, kontrak akan sulit ditegakan, dan menjadi potensi kerugian untuk kelompok.
Pertarungan politik yang melulu dilakukan secara elegan, juga akan membuat otot kita mengendur. Kebiasaan bernegosiasi seperti elit, akan menghilangkan kepekaan terhadap struktur yang ada di bawah, terlebih kemampuan untuk bertarung di akar rumput. Sebenarnya, semakin rapih dan bersih arena pertarungan politik, justru hanya akan membuat orang-orang merasa mual. Mau bagaimanapun, banyak orang—juga saya secara pribadi—tidak memandang aktor yang melulu menggunakan politik pintu belakang secara berlebihan sebagai “ahli strategi”, mereka hanyalah mahluk tolol yang lebih jelek dari kumis Hitler.
“Menjadi barbar juga akan membuat kita semakin manusiawi, karena tindakan barbar adalah ekspresi langsung dari naluri bertahan hidup.”
Kita justru perlu sesekali menjadi barbar dalam pertarungan politik. Pertarungan yang frontal dan kasar membuat informasi lebih transparan, sehingga menghilangkan batas, dan mempertegas informasi yang ambigu. Politik barbar akan menciptakan demarkasi yang jelas antara “kami” dan “mereka” secara emosional, dan polarisasi afektif ini secara positif akan meningkatkan partisipasi politik di dalam organisasi. Kita juga bisa menggunakan humor agresif untuk menguatkan solidaritas. Meledek, menghina, membuat lawan menderita, kemudian menertawakannya untuk menguatkan identitas kolektif terkadang diperlukan, jika cara tersebut bisa membuat banyak orang lebih peduli untuk membangun kembali pondasi kelompok atau organisasinya.
Lagipula tak ada pertarungan politik yang murni tanpa unsur barbar. Semulus-mulusnya gerakan tanpa kekerasan Otpor yang berhasil meruntuhkan pemerintahan Slobodan Milosevic, Berlusconi yang menggunakan ruang tamu pribadi sebagai gedung parlemen, hingga janji manis yang ditawarkan oleh slogan koalisi pelangi Adrian Bettini melawan rezim Pinochet dalam kisah Hari-Hari Penuh Warna dari Antonio Skarmeta.
Menjadi barbar juga akan membuat kita semakin manusiawi, karena tindakan barbar adalah ekspresi langsung dari naluri bertahan hidup. Tanpa tindakan barbar, hidup juga akan terasa sangat kaku dan membosankan. Tidak hanya dalam politik praktis, hal ini berlaku juga pada arena pertarungan lain seperti filsafat dan sastra, yang juga memiliki unsur politis. Wittgenstein dengan besi panjang perapian, Hemingway melawan sunday punch milik Stevens, juga Idrus yang kejam terhadap Pram. Mereka adalah aktor politik barbar di arena pertarungan masing-masing. Memperjuangkan atau mempertahankan status quo dari ideologi atau kepentingan milik mereka, meskipun hanya sekadar estetika atau selera humor.
Manusia memang seringkali kurang sopan dan kasar, bahkan pada persoalan-persoalan seperti percintaan dan pertemanan. Saya pernah memberikan sebuah saran kepada seorang teman yang lain, ia menjadi sangat kacau setelah dikecewakan oleh kawan yang sudah dipercaya bertahun-tahun. “Saranku, le, pilih salah satu: tendang kepalanya, atau peler-nya,” ucap saya dengan penuh kasih.
Yah, itu bukanlah sebuah saran baik yang layak untuk diikuti. Walau hanya sepintas lalu, saya bersyukur pada akhirnya teman saya tidak menendang kepala atau peler satu orang pun. Namun, saya mendengar dan ada orang yang mengeluh kepada saya, kalau ia menjadi sangat barbar ketika terlibat dalam salah satu kontestasi politik.
Saya berdoa yang terbaik untuk teman saya, juga untuk politik barbarnya. Sebagai seorang teman saya akan selalu menemani, sekalipun harus menjadi urakan seperti anak punk di tengah pertunjukan musik jazz.








