Oleh: Slamet Makhsun*
Sejarah telah memperlihatkan bagaimana keterlibatan mahasiswa dalam aspek dinamika bangsa Indonesia. Baik sebelum negara ini berdiri, maupun sesudahnya. Mahasiswa dengan seabrek idealismenya, telah menunjukkan bagaimana mereka dapat berkontribusi terhadap rakyat. Hal tersebut nampak dalam beragam gerakan politik, budaya, maupun, ekonomi.
PMII yang notebenenya adalah gerakan kemahasiswaan, sedikit banyak turut memberikan ragam warna dalam perhelatan wacana di negeri ini. PMII lahir pada tahun 1960, yang bertujuan untuk mewadahi mahasiswa-mahasiswa NU yang ada di perguruan tinggi. Sebab, memang saat itu beragam ormas dan partai politik memiliki ‘anak ideologis’ di kampus. Yakni mewujud organisasi kemahasiswaan ekstra kampus.
Di tahun 1960-an, setting sosial politik kampus mengerucut terhadap tiga organisasi yang memiliki basis massa yang banyak. Yakni HMI (sebagai onderbouw Masyumi), CGMI (sebagai onderbouw-nya PKI), dan GMNI (sebagai onderbouw-nya PNI). Lain dari pada itu, juga ada beberapa organisasi mahasiswa walaupun memiliki jumlah massa yang tidak terlalu banyak. Misalnya GEMSOS (onderbouw-nya PSI), GMKI (onderbouw-nya Partai Kristen Indonesia—Parkindo), dan PMKRI (sebagai onderbouw-nya Partai Khatolik)
Saat itu, NU masih menjadi partai politik. Dan wajar, bahkan suatu keharusan, untuk membentuk onderbouw-nya di kampus. Sebab, jika hanya berfokus pada pondok pesantren, kader-kader NU yang ada di perguruan tinggi tidak akan terurus. Walaupun sebenarnya sudah ada IPNU-IPPNU, namun organisasi tersebut kurang mampu mewadahi mahasiswa, dalam artian, IPNU-IPPNU lebih kepada wacana amaliyahnya dengan menanamkan pemahaman Aswaja, sedangkan wacana-wacana politik, budaya, ekologi, dll, sangat jarang.
Pun demikian dari keanggotaannya—bukan maksud mendiskreditkan— antara pelajar dan mahasiswa sudah memiliki garis dikotomi yang tegas. Mahasiswa memiliki beban yang lebih banyak, kompleks, serta dari segi wacana-wacananya sangat beragam, ketimbang pelajar. Oleh sebab itu, PMII menjadi basis pengkaderan NU agar kaum intelektual Muslim Indonesia yang ada di kampus-kampus tetap berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Hubungan Kesalingan
Suatu hal yang turut mengguncang, ialah putusan muktamar NU pada tanggal 1-5 Agustus 2015 yang digelar di Jombang. Muktamar tersebut secara sah memutuskan bahwa PMII kembali menjadi badan otonom (banom) NU. Tentu, hal ini mengundang reaksi yang berlimpah dari anggota PMII sendiri. Ketua Umum PB PMII saat itu, menolak ajakan PBNU untuk menjadikan PMII sebagai banom NU.
Alasannya, jika PMII tidak independen—masih dibawah atau dinaungi organisasi lain—maka langkah-langkah yang diambil mudah ditunggangi. PMII sebagai organisasi mahasiswa yang membela rakyat dan kaum-kaum tertindas, menjadi mudah dimanfaatkan oleh pihak lain. Sebab itulah, independensi adalah hal yang sangat penting bagi PMII, agar pergerakannya benar-benar sesuai alur nilai dasar pergerakannya.
Track sejarah menyatakan bahwa PMII secara resmi keluar dari NU dan menyatakan sikap sebagai organisasi yang independen, yakni melalui Musyawarah Besar ke-3 PMII yang dilakukan pada 14 Juli 1972 di Munarjati, Malang, yang lalu disebut “Deklarasi Munarjati”. Saat itu, kepemimpinan dipegang Muhammad Zamroni (1967-1973), di mana situasi politik sedang tidak mendukung.
Hal tersebut diawali dari tragedi G30S PKI, banyaknya konflik sehingga berakibat banyak orang yang terbunuh, terjadi pemberontakan, serta peralihan dari Sukarno kepada Suharto yang tentunya memiliki ideologi maupun mekanisme yang berbeda dalam memimpin negara. Jika Sukarno lebih dekat dengan Komunis, maka suharto akrab dengan Barat yang notabenenya sebagai lawan dari Komunis.
Tataran partai juga berubah. Suharto telah mengembangkan dwifungsi Abri, semakin merapikan partai politik. Golkar sebagai partai yang ia canangkan, mengalami perkembangan pesat. Meminjam bahasanya Munim DZ, Suharto telah melakukan golkarisasi, yakni dengan ‘menjepit’ partai lain sehingga memiliki pendukung yang semakin sedikit dan menjadikannya sebagai pendukung Golkar.
Hal itu ketara sekali, bagaimana organisasi-organisasi ataupun partai politik yang diklaim bertentangan dan tidak menerima Pancasila, dibubarkan. Partai-partai yang banyak jumlahnya itu lalu disederhanakan. Seperti kebijakan Suharto pada tahun 1973 yang melakukan fusi partai; Partai Katolik, PNI, dan IPKI mengerucut dijadikan satu di PDI. Sementara parpol yang bernuansa Islam yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, digabungkan dalam Partai Persatuan Pembangunan.
Sebelum meleburkan diri ke PPP, partai NU telah mengalami banyak guncangan, didiskreditkan, dipinggirkan, diintimidasi. Sebab, NU sendiri dianggap sebagai basis kekuatan yang dapat melengserkan orde baru. Semenjak Suharto ditetapkan sebagai presiden pasca G30S PKI, telah disepakati untuk dilakukan pemilu pada tahun 1968. Nyatanya Suharto terus mengelak dan mengundur-undur pelaksanaan pemilu. Saat itu, NU-lah yang paling aktif untuk mendesak Suharto agar pemilu benar-benar dilaksanakan. Hingga akhirnya pada tahun 1971, Pemilu berhasil digelar dengan partai NU yang menempati peringkat kedua, setelah Golkar.
Pada periode pertama, PMII memang dijadikan sebagai mesin kaderisasi intelektual bagi partai NU. Tak heran, jika kultur pergerakan di tubuh PMII sangat lekat dengan politik, yang memang sedari awal dibentuk sebagai moda transportasi partai NU. Saat itu pula, terbentuk pemikiran bahwa ketika PMII masih menjadi banom NU, maka tidak akan bisa mandiri dalam menyikapi segala urusannya. Apa-apa ketika ada masalah, harus lapor kepada PBNU dan melakukan musyawarah sehingga menumbuhkan kebergantungan kepada pengurus NU.
Sementara di saat yang sama, NU yang menjadi partai politik juga banyak mengalami perseturuan internal. Bukti daripada itu, yakni pada Muktamar NU di Cipasung ada dualisme kepemimpinan. Yakni calon yang digagas oleh ulama, dan lawannya calon yang diangkat dan menjadi kaki tangannya Suharto. Ketika PMII masih menjadi banom partai NU, maka AD/ART dan seabrek nilai-nilai yang diangkatnya akan sulit dalam merealisasikannya. Lebih mementingkan hajat-hajat yang sedang dimiliki oleh partai NU.
Sebab itu pula, dengan PMII lepas dari Partai NU, maka dapat benar-benar maksimal bergerak, tidak ada yang mengintervensi, serta dapat melakukan praksis kerja-kerja kemasyrakatan dengan maksimal. Seperti salah satu kalimat yang termaktub dalam manifest independensi PMII.
“…Bahwa pada hakikatnya independensi sebagaimana telah dideklarasikan di Muranjati adalah merupakan manifestasi kesadaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakinkan sepenuhnya terhadap tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berpikir dan pembangunan kreativitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam…”
Hubungan PMII dengan NU lalu berubah. Ketika NU sudah resmi kembali ke khittah dengan menjadi organisasi masyarakat yang berbasis sosial-keagamaan bukan lagi sebagai partai politik, maka dalam hal itu, PMII pada tahun 1989 melakukan Penegasan Cibogo (kongres Medan) dan merevisi pola hubungan PMII-NU menjadi interdependensi. Maksud interdependensi ialah bahwa secara struktural, PMII bukan sebagai banom NU, namun, secara kultural, tetap mengamalkan apa yang selama ini NU ajarkan seperti tetap berhaluan kepada nafas Ahlussunnah wal Jamaah.
Pada muktamar NU di Jombang di tahun 2015, sidang komisi secara sah telah menetapkan PMII sebagai banom NU. Hal tersebut, sebenarnya sah-sah saja. Mengingat, PMII lahir dan dibesarkan dalam rahim NU. Jika dulu pada tahun 1972 PMII keluar dari NU karena NU menjadi partai politik, maka untuk saat ini, ketika NU sudah menjadi organisasi masyarakat, tidak ada alasan untuk menolak. Segala hal yang dikhawatirkan, misal ditakutkan PBNU akan terus menggerus dan mengintervensi PMII, PMII tidak lagi akan mandiri, timbulnya asas kebergantungan kepada pengurus NU, penulis kira, hal tersebut masih erlu dikaji dengan mendalam.
Sebab, bagi PBNU, adalah suatu prestasi jika telah menjadikan banomnya mandiri. Siapa bapak yang tidak bangga ketika anak-anaknya dapat mandiri dan tidak lagi menggantungkan hidup kepadanya? Begitulah kita-kira analoginya. Selama ini, PBNU dilarang keras berhubungan dengan partai politik. Hal ini pula yang menjadi asas kesamaan dan tujuan, bahwa PMII dan NU sama-sama organisasi yang memperjuangkan hak-hak kemasyarakatan dan membela orang yang tertindas, bukan mengurusi politik praktis.
Sebenarnya, PMII tidaklah pernah keluar dari NU. NU yang melahirkan PMII, dengan pasti telah menurunkan ‘gen dan DNA’ yang dimilikinya. Sehingga, walau secara struktural tidak berkaitan, tetap saja pola pikir dan paradigma dalam dua organisasi tersebut akan sama. Hanya beda ruang geraknya saja. Toh juga kader-kader PMII yang sudah purna tugas, banyak yang kembali dan berkhidmat di NU.
Dengan masuk kembalinya PMII sebagai banom NU, penulis kira, malahan akan semakin solid dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tergantung bagaimana para pemangku jabatannya, apakah mampu menjaga idealismenya atau justru malah menumbalkan kader-kader dan organisasinya demi kepentingan pribadi.
Ilustrasi: google
*) Kader PMII Rayon Pembebasan UIN Sunan Kalijaga