Transformasi Aswaja Manhaj al- Fikr Sebagai Madzhab Menuju Manhaj

Aswaja

Oleh: Rifki Azka* dan Isna Salsabila**

~Tulisan dibawah ini merupakan materi follow up Masa Penerimaan Anggota (MAPABA) PMII Rayon Pembebasan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga tahun 2021~

  

Awal Mula Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah al-Nahdliyyah (Aswaja Madzhab)

Ahlussunnah wal jama’ah adalah firqoh yang paling banyak diikuti olej mayoritas Muslim di dunia. Pun demikian, friqoh tersebut menjadi legitimasi awal terhadap terbentuknya Nahdlatul Ulama, yang salah satu pendirinya ialah Hadartus Syaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari.

Beliau menjelaskan bahwasannya Aswaja adalah bentuk implementasi dari sejarah berdirinya kelompok yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab empat, dan bertasawuf dengan model yang Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi ajarkan.

Aswaja sendiri, dalam konteks Indonesia, seringkali dirivalkan dengan gerakan Wahabiyah, yang jargonnya dengan konsep kembali kepada Al-Quran dan as-sunnah, dalam artian anti terhadap madzhab, anti taqlid, dan anti TBC (tahayyul,  bid’ah, dan khurafat).

Dalam forum Muktamar NU ke-33 di Jombang pada bulan Agustus 2015, yang membahas tentang “Khashaish Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah al-Nahdliyyah” atau disebut dengan Aswaja perspektif NU, dikatakan bahwa, “Semakin derasnya arus informasi di Indonesia hari ini yang berorientasi pada isu-isu keagamaan, sudah menjadi keharusan kita untuk memegang teguh Islam ala Ahlusunnah Wa al-Jama’ah sebagai upaya membentengi diri agar tidak mudah percaya dan dipengaruhi ideologi radikal (ekstrimis).”

Aswaja yang diajarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari di atas, kemudian diistilahi dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah al-Nahdliyyah. Penamaan tersebut didasari pada fenomena merebaknya organisasi yang menyatakan bahwa golongannya merupakan Aswaja, namun sering tidak mencerminkan sikap yang sesuai dengan Aswaja.

Oleh karena itu, meminjam istilah dalam kajian ilmu tafsir, NU telah melakukan takhsis terhadap Aswaja sehingga umat mampu membedakan mana Aswaja yang real dan mana Aswaja yang fake—palsu.

Salah satu usaha yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari dalam membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi oleh paham-paham sesat yang dikampanyekan oleh kalangan Wahabiyyin maupun firqoh Islam lainnya, salah satunya dengan menulis kitab yang bertajuk Risalah Ahlusunah Waljamaah yang secara khusus menjelaskan soal bid’ah dan sunah.

Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan pemahaman akidah, fikih, dan tasawuf versi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah al-Nahdliyyah telah berhasil memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya. Fleksibel dalam kalimat tersebut bukan berarti tanpa pendirian teguh, melainkan lebih menjurus kepada sikap yang akomodatif dan cepat akrab dengan segala perkembangan zaman.

Ajaran Aswaja di Indonesia, oleh para ulama, lalu dicirikhaskan dengan beberapa term dalam menyikapi sesuatu. Yakni tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan ta’adul (Adil).

Ajaran aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam, memiliki orientasi untuk  mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat, baik bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Alhasil, Aswaja bukan hanya dijadikan pandangan keagamaan secara sempit dalam artian laku ibadah formal semata, tetapi bersifat holistik dalam memandang dunia dan lingkungan yang beragam yang majemuk dan dinamis. Term seperti ini, yang membuat Aswaja sebagai firqoh yang, secara pemahaman, penafsiran, maupun praktik benar-benar mengejawantahkan Islam yang rahmatal lil ‘alamin. Bukan hanya rahmat bagi orang Islam seja, namun bagi seluruh semesta.

Dalam kancah pemikiran KH Hasyim Asy’ari, madzhab fiqh dalam konsep Aswaja merupakan produk hukum Islam yang dipengaruhi oleh fenomena keadaan zaman saat itu. Oleh sebab itu, jika produk fiqh di zaman lampau yang lalu diterapkan di era sekarang, jelas tentu tidak tepat. Tidak relavan. Fiqh yang menggunakan adat, keadaan masyarakat, situasi lingkungan, selalu mengharuskan adanya pembaharuan dalam produk hukum. Agar Islam tetap menjadi agama yang sholih li kulli zaman wa makan.

Demikian itu yang menjadikan Aswaja memiliki reformasi baru. Yakni yang dulunya Aswaja sebagai madzhab dalam laku peribadahan, bertransformasi menjadi Aswaja Manhajul Fikr. Maksudnya ialah Aswaja menjadi landasan konsep dan teori dalam merumuskan setiap hukum maupun kebijakan yang dibuat. Produk hukumnya jelas tentu berbeda dengan hukum-hukum di era dulu, namun mengandung spirit-ontologi, atau maqashid yang sama.

 

Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah al-Nahdliyyah Sebagai Manhaj al-Fikr (Transformasi Madzhab Menuju Manhaj)

Seiring dengan derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, menuntut agar terus memacu diri mengkaji Ahlussunah Wal Jama’ah dari berbagai aspeknya, agar dapat memahami dan memperdalam, menghayati dan mengejawantahkan warisan ulama Salaf Al-Sholih yang berserakan dalam tumpukan kutub al turast. Dengan tujuan untuk selalu mengkonsteks Islam dengan zamannya.

Nahdatul Ulama’ dalam menjalankan paham Ahlusunah wal Jamaah pada dasarnya menganut lima prinsip. Yakni, attawazun (keseimbangan), attasamuh (toleran), atawassuth (moderat), alta’adul (patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar.

Dalam masalah sikap toleran pernah dicontohkan oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, saat muncul perdebatan tentang perlunya negara Islam atau tidak di Indonesia. Beliau mengatakan, selama umat Islam diakui keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan persoalan final dan masih menjadi perdebatan.

Yang terpenting dari berdirinya sebuah daulah adalah adanya keamanan dan keadilan yang tercapai dalam masyarakat. Termasuk pula di dalamnya hak-hak dalam beragama. Oleh sebab itu, penting tidaknya negara Islam, sebenarnya bergantung dangan maqashid yang Islam bawa. Jika dengan negara kesatuan sudah dapat mengejawantahkan nilai-nilai keislaman, mengapa harus dengan khilafah? Sebaliknya, jika dengan khilafah malah semakin memecah belah masyarakat dan menyebabkan terjadinya peperangan, bukankah demikian itu termasuk perbuatan yang haram?

Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah al-Nahdliyyah adalah upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), serta ta’adul (Keadilan). Maka dari itu, K.H. Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir (manhaj alfikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi.

Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sebagaimana yang dikutip dari K.H. Said Aqil Siradj, “Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, keadilan dan toleransi.”

K.H. Said Aqil Siradj telah melakukan terobosan baru dalam pemikiran intelektual NU kontemporer yakni pergeseran pendekatan madzhabi menuju manhaji yang di mana kita sebut sebagai Aswaja manhaj alfikr. Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Aswaja manhaj al-fikr adalah lima prinsip yang telah diamini oleh NU seperti di atas.

Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat, selain bahwa Allah telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalah ummat wasath, umat pertengahan yang adil (QS. Al-Baqarah: 143).

Konsep Aswaja manhaj al-fikr yang meliputi nilai-nilai yang mejadi prinsip dasar dalam berfikir adalah wujud tafsir dalam memahami Aswaja di era Globalisasi. Selain itu salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim.

Sejatinya, Aswaja Manhajul Fikr, lebih menekankan kepada pengambilan setiap sikap, kebijakan, undang-undang, atau segala hal yang berkaitan dengan lini kehidupan, mengandung prinsip-prinsip seperti di atas.

Berkaca dari hal tersebut, maka sebagai bagian dari PMII, wajib mengindahkan dan menjaga prinsip-prinsip dalam berfkir, yakni dengan konsep Aswaja Manhaj al-fikr sebagai landasan, agar apa yang Islam bawa benar-benar ter-pribumisasi.

 

Kontekstualisasi Nilai-Nilai Aswaja

Seperti yang sudah dibahas pada pemaparan sebelumnya, nilai-nilai aswaja terdiri dari empat aspek, yang masing-masingnya adalah hal yang dasar bagi setiap Muslim. Yakni:

a. Tawasuth (Moderat)

Tawasuth dalam arti luas adalah menempatkan diri diantara dua kutub sehingga tidak memihak kepada salah satu pihak. Dalam kehidupan sehari-hari, tawasuth ditunjukkan dengan sikap yang seimbang antara pikiran dan tindakan, tidak gegabah dalam mengambil keputusan apalagi menghakimi.

Contoh sikap tawasuth dalam lingkup aqidah, misalnya tidak kaku dalam berfikir. Ketika menafsirkan kuasa, manusia tidak beranggapan bahwa segala gerak-gerik manusia sepenuhnya diatur Allah sebagaimana keyakinan golongan Qodariyah. Pun sebaliknya ia tidak berpikir bahwa manusia berkuasa sepenuhnya atas tindakannya sendiri sebagaimana keyakinan golongan Jabariah. Namun dalam setiap tindakan yang manusia lakukan, ada peran Tuhan di dalamnya.

Konsep Islam moderat—yang mengutip dari perkataan KH Hasyim Muzadi—bukan hanya ditafsirkan pada sikap keagamaan yang toleran, melindungi minoritas, menjaga perbedaan tidak ke kiri maupun ke kanan, tetapi berada di tengah (tawasuth).

Jika hanya dipahami sebatas itu, menurut beliau, maka arti moderasi sangatlah sempit, atau bahkan tidak dapat mengatasi persoalan bangsa. Artinya moderasi bukan hanya diterapkan dalam doktrin keagamaan atau toleransi lintas agama tapi juga harus ditarik pada persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan peradaban.

Konsep-konsep dasar tersebut belum dioptimalkan untuk problematika ekonomi bangsa, kesenjangan yang kian melebar, pengangguran yang terus bertambah, hingga praktik kapitalisme yang kian menjadi-jadi. Artinya aspek moderat yang sebenar-benarnya moderat berlaku jua dalam menciptakan kehidupan negara yang damai, melindungi minoritas, membuka akses pendidikan yang murah, memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan, serta kepada semua hal-hal yang mengupayakan kesamarataan derajat maupun keadilan manusia.

b. I’tidal (Tegak Lurus)

I’tidal artinya tegak lurus. I’tidal sendiri juga sangat berkaitan dengan sikap tawasuth. Sebagaimana firman Allah agar kita menjadi orang-orang yang tegak membela kebenaran dan jangan sampai kebencian kita terhadap sesuatu menjadikan kita berlaku tidak adil.

Sikap I’tidal (tegak lurus dan berlaku adil) dalam kemasyarakatan diaplikasikan dengan bersikap adil dan tidak membeda-bedakan antara kelompok kaya dan miskin, antara mayoritas atau minoritas. Atau pun dalam ranah pengelolaan lingkungan dapat direalisasikan dengan memperhatikan pengelolaan infrastruktur tanpa mengesampingkan aspek kesehatan lingkungan.

 c. Tawazun (Seimbang)

Tawazun dalam bidang politik atau kepemerintahan dapat diterapkan dengan tidak membenarkan kelompok ekstrem yang merongrong pemerintah yang sah, namun juga bukan berarti acuh dan tidak memedulikan apa yang terjadi dengan dinamika politik dan pemerintahan. Tetap melindungi bentuk negara kesatuan, tetapi juga melakukan kritik terahap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, sehingga dua hal tersebut akan mendorong terhadap terciptanya iklim birokrasi yang sehat.

Tawazun di bidang ekonomi contohnya, yakni dengan berpihak pada keadilan ekonomi dengan memperjuangkan ekonomi wong cilik, bukan malah mendorong ekonomi kapital yang berpihak kepada pemilik modal. Tawazun dalam bidang ekonomi berarti turut menciptakan pemerataan ekonomi sehingga kekayaan negara tidak hanya dikuasai segelintir konglomerat.

d. Tasamuh (Toleran)

Tasamuh bisa diartikan kelapangan dada, murah hati, dan toleransi. Tasamuh dapat terlihat jelas dalam bidang sosial, misalnya dengan tidak buru-buru dalam menilai perbuatan orang lain dan menyimpulkan perbuatannya. Artinya kita harus menghormati setiap orang yang memiliki prinsip hidup yang berbeda-beda. Namun bukan berarti membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut.

Dengan bersikap tasamuh, kita tidak mudah menjatuhkan vonis syirik, bid’ah, apalagi kafir kepada orang lain, namun ia tetap tegas pada pihak yang nyata memusuhi Islam. Dalam bidang fiqih, bersikap tasamuh yaitu dapat menerima perbedaan pendapat ulama dalam menilai masalah yang memiliki dalil multi-interpretatif. Pun hal dalam bidang budaya, bersikap tasamuh dapat diaplikasikan dengan menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan.

Ilustrasi: google

 

DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, Muhammad Lutfi. Konsep Aswaja Menurut KH Hasyim Asy’ari. Iqra.id Desember 2020.

Abdusshomad, KH. Muhyidin. Karakter Tawasuth, Tawazun, I’tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja. NU Online Maret 2009. Retrieved from nu online: https://islam.nu.or.id/syariah/karakter-tawassuth-tawazun-i039tidal-dan-tasamuh-dala m-aswaja-nApNg

Kharismatunnisa, Ilma dan Mohammad Darwis. Nahdlatu Ulama dan Perannya dalam Menyebarkan Nilai-Nilai Pendidikan Aswaja An-Nahdliyah pada Masyarakat Plural. E-Journal IAI Syarifuddin Lumajang 2021

Asy’ari, Hasyim. Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama”ah. Terj. Zainul Hakim. Jember: Darus Sholah, 2006.

Ja’far, Marwan. Ahlussunnah Wal Jama‟ah; Telaah Historis dan Kontekstual. Yogyakarta: LKiS, 2010.

 

 

*) Pengurus PMII Rayon Pembebasan, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadis UIN Jogja.

**) Pengurus PMII Rayon Pembebasan, Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Jogja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *