Muhammadiyah dan Teologi Kirinya

muhammadiyah

Oleh: Slamet Makhsun*

Dalam perkembangannya, masyarakat Muslim Indonesia nampaknya telah mengalami banyak pergulatan dan dinamika. Dulu, dikotomi antara kaum santri, priyayi, dan abangan sangat jelas. Namun di era sekarang, hal-hal yang menjadikannya berbeda sudah kabur. Banyak kaum santri yang sudah menempati ekonomi menengah ke atas dan pendidikan formal yang cukup layak –yang dulu hanya dapat diperoleh kaum priyayi.

Begitu pula, sekarang, kaum abangan juga mengenyam pendidikan formal, terlebih yang dibawah naungan Kementerian Agama, dengan standarisasi mata pelajaran yang sama. Sehingga pemahaman Islam yang didapat cukup merata antara kaum abangan dengan kaum Muslim selain abangan. Selain hal itu, kaum priyayi yang dulu identik dengan darah biru, seakan sudah tidak lagi digubris oleh masyarakat. Ketundukan masyarakat terhadap kaum darah biru, semakin memudar berkelindan dengan adanya sistem demokrasi dalam negara kita yang, semua warga negara sama rata sama rasa. Tidak ada pembedaan status berdasarkan darah dan nasab.

Hal diatas juga bisa menjadi refleksi terhadap perkembangan partai politik saat ini, dimana batas strata sosial di era dulu sudah pudar. Banyak dari kalangan santri yang menjadi kader partai PDIP. Tidak jarang kaum priyayi yang menjadi support system di partai PKB atau PPP yang notabenenya partai dengan ideologisasi agama Islam, dan lain sebagainya. Sehingga dengan itu semua, sudah lagi tidak jelas mana partai yang benar-benar memperjuangkan rakyat kecil dan mana yang tidak. Sebab, dalam kontestasi pemilu, hampir semua partai tidak lepas dari money politik. Berkesinambungan pula dengan koruptor yang berasal dari beragam partai, tidak pandang mana asal partai dan ideologi yang diusungnya.

Demikian ini yang menghantarkan terhadap semakin merebaknya kapitalisme. Rata-rata, pejabat yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif, kebanyakan adalah pengusaha. Entah dalam bidang pertambangan, ekspor-impor, perkebunan sawit, dan lainnya. Ini berkorelasi dengan beberapa undang-undang yang belum lama ini disahkan. Misal UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU Omnibus Law yang kesemuanya dalam banyak kajian LSM dan lingkar studi mahasiswa, memiliki banyak kecacatan. Rancangan undang-undang itu dibuat oleh para pejabat negara yang notabenenya kader partai. Jelas, regulasi itu semua demi memudahkan para pejabat agar perusahaannya semakin untung dengan menghisap darah rakyat. Lantas, jika demikian, partai politik bisa apa?

Melihat kebobrokan tersebut, justru penulis malah tertarik dengan gerakan Muhammadiyah yang ‘seksi’ ini. Ormas itu sudah berumur lebih dari satu abad. Berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Gerakan-gerakannya massif menyasar masyarakat kelas bawah yang sering diberi term proletar. Masyarakat-masyarakat yang lemah secara ekonomi dan sosial, lekas diberdayakan, diberi bantuan, didampingi, sehingga bisa hidup lebih sejahtera. Begitu banyak lembaga pendidikan yang dibangun, puluhan juta anak-anak yang tidak mampu diberi beasiswa. Anak-anak yatim diurus dengan kasih sayang dan dicukupi kebutuhannya. Fasilitas penting seperti rumah sakit banyak dibangun. Alhasil, orang yang sakit tetapi kekurangan biaya, dibantu pengobatannya.

Apa Muhammadiyah pamrih dengan semua itu? Tidak. Jasa mereka yang begitu besar kepada masyarakat, benar-benar ikhlas dilakukan. Mereka tidak minta timbal balik dari orang yang ditolong. Bahkan, spirit mereka ketika menyantuni orang Mustadh’afin sama sekali bukan untuk dakwah agar jumlah anggotanya bertambah banyak. Mereka tidak serakus itu. Mau orangnya itu ateis, Kristen, Hindu, Budha, semua akan ditolong.

Di saat warga negeri ini memandang nasib mereka yang miskin, terjajah, dan penyakitan sebagai sebuah takdir yang harus diterima, Muhammadiyah meyakinkan warga bahwa nasibnya dapat diubah dengan lewat pendidikan dan kegotong-royongan filantropis dalam berorganisasi. Bagi Muhammadiyah, agama bukan hanya sekedar menyembah kepada Tuhan, melainkan juga berorganisasi dalam memberdayakan umat yang tertindas.

Pahala tidak hanya didapat dari ritual formalistik seperti yang tertera dalam rukun Islam, namun menolong orang-orang yang kelaparan sama pentingnya dengan ibadah haji. Dalam hubungan itu pula, tujuan Muhammadiyah untuk “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Diksi “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” ini harus dipahami sebagai suatu masyarakat Muslim yang mengamalkan esensi ajaran Islam. Bukan masyarakat yang semuanya harus beragama Islam dengan pemahaman yang cenderung formal. Seperti ungkapannya Prof Abdul Munir Malkan yang merupakan mantan pengurus pusat Muhammadiyah, ujarnya:

“Semua aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh Kyai Dahlan dan juga tokoh-tokoh sezamannya, merupakan bukti kesaksian empiris kepercayaan iman dan kegiatan ritual manembah kepada Yang Maha Besar, Maha Ilmu, Maha Rahim, Allah SWT. Kesaksian iman tidaklah cukup dibuktikan dengan laku ibadah mahdah, tetapi juga harus dibuktikan dengan laku ‘sumrambah tumraping liyah’, kepada siapa saja yang butuh, dengan ikhlas akan dibantu. Sebab, hidayah keberislaman adalah hak prerogatif Tuhan.”

Di sini lah sebenarnya terletak suatu paradigma teologi kirinya Kyai Ahmad Dahlan –pendiri Muhammadiyah. Islam yang beliau amini, yakni agama yang merahmati sekalian alam. Agama yang selalu membela kaum-kaum tertindas. Islam menjadi motorik utama bagaimana Kyai Dahlan bergerak. Tentu, pandangan dan gagasan beliau ini mirip dengan apa yang diangkat oleh kaum Marxis dan Sosialis. Pararel dengan ungkapan Nietzsche ‘Tuhan telah Mati’, lalu gagasan Karl Marx tentang revolusi kaum proletar, bahkan lebih dari Islam kirinya Hasan Hanafi.

Kritikan Nietzsche perihal ‘god is dead’ serta perihal ungkapan Marx bahwa ‘agama itu candu’, lebih merupakan cara mempertanyakan peran Tuhan ketika umat yang meyakini dan beriman kepada-Nya justru bernasib sungsang sial dan teraniaya. Sementara, di saat yang sama, para pemuka abai terhadap nasib umatnya yang tertindas, malahan mereka turut berkorporasi dengan antek kapital agar status quo-nya di masyarakat semakin gagah.

Secara normatif, pembebasan seseorang atau kelompok dari beragam derita seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, ancaman, atau ketertindasan merupakan tujuan pokok dari diturunkannya Islam ke dunia. Tidak peduli apakah mereka yang ditolong dan dibebaskan itu kafir, ateis, atau bahkan penyembah berhala sekalipun, Islam berkepentingan membebaskan mereka dari segala penderitaan hidupnya. Lagi-lagi, perihal masuknya seseorang memeluk agama Islam adalah hak mutlak Tuhan. Manusia tidak boleh, bahkan diharamkan memaksa seseorang agar masuk agama Islam.

Nah, apa yang Kyai Dahlan lakukan persis demikian. Yang hal ini, memiliki kesamaan gagasan dengan konsep sosialisme dan marxisme yang selalu dicap gerakan kiri itu. Tidak jarang labelisasi dengan istilah “kiri” dimaksudkan untuk meletakkan sebuah pemikiran dan gerakan yang anti-Tuhan dan atau komunis. Ironisnya, gerakan kiri ini malahan lebih dekat bentuk keberpihakannya terhadap pemberdayaan kaum tertindas. Kiri Islam-nya Hasan Hanafi, berkaitan dengan usaha umat Islam dalam menghadapi imperialisme, zionisme, dan kapitalisme, serta pemberantasan kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan dari tubuh umat Islam sendiri.

Dengan demikian, maka teologi kiri bukanlah ajaran Tuhan yang tentang bagaimana manusia ‘menyenangkan’ Tuhan dengan berbagai ritual formalistik saja. Lebih dari itu, manusia juga memiliki kewajiban untuk mengurus dirinya sendiri dan orang lain. Oleh sebabnya, teologi ini berusaha mewujudkan ekosistem umat Islam yang benar-benar tiada perbudakan dan penindasan. Sesuai dengan perkataan Tuhan:

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi, orang-orang yang beriman dan beramal salah,” (QS As-Saffat ayat 37).

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap apa yang mereka kerjakan,” (QS AL-Anfal ayat 39).

Ilustrasi: google

 

)*Kader PMII Rayon Pembebasan UIN Sunan Kalijaga, serta pegiat literasi di Garawiksa Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *